KEAJAIBAN POSSIBILITY DIAGRAM dan COUNT DOWN



KEAJAIBAN POSSIBILITY DIAGRAM dan COUNT DOWN

Sampai malam itu, Maret 2004, saya belum mengenal kata possibility diagram atau diagram kemungkinan, apalagi count down. Hari itu jumat malam, satu minggu sebelum Leadership Seminar (LS) yang ke dua untuk saya. Seminar pertama bulan Oktober 2003 di Jakarta, hasil paksaan anak saya. Sampai sekarang saya merasa berterimakasih kepada Adi anak saya yang berhasil memaksa saya hadir di LS itu. Tanpa paksaannya, saya mungkin masih sama dengan teman teman saya yang lain, terus menerus harus bekerja keras untuk mendapatkan uang guna memutar roda ekonomi. Saya seperti sebagian besar dokter yang lain tidak memiliki aset sama sekali. Keluarga saya yang memiliki aset, yaitu diri saya. 

Sejak saya memutuskan menjalankan Amway, setiap hari rasanya ingin berhenti. Seandainya saya tidak memiliki night mare atau mimpi buruk yaitu bertemu dengan beberapa janda dokter yang jualan door to door, saya pasti berhenti menjalankan bisnis Amway. Ini bisnis yang sangat membuat malu. Berjanji ketemu orang, mendatangi mereka, presentasi, ditolak, diberi pandangan kasihan, atau dianggap serakah sudah jadi dokter kok masih merasa kurang dan sebagainya sangatlah menyiksa. Sebagai dokter kandungan saya tidak kurang suatu apa, bahkan cenderung berlebih. Semua orang menganggap saya orang kaya. Hanya satu orang saja yang mengatakan saya miskin, yaitu Robert T Kiyosaki (RTK) dalam buku Rich Dad Poor Dad dan Cashflow Quadrant. Sebenarnya saya bisa saja mengabaikan dia, toh dia jauh di Hawaii sana. Tetapi saya beruntung tidak mengabaikannya, karena dia memang benar. 

Setelah LS pertama itu, entah setan mana yang membisiki saya, saya berjanji kepada mentor untuk mengajak 25+ orang yang terbagi dalam 9 kaki atau 9 grup, atau dikenal sebagai 25+ Gold Ribbon di LS bulan Maret 2004. Malam itu, pertengahan Maret, setelah 4 bulan bekerja sangat keras, saya hanya bisa mengajak 13 orang yang terbagi dalam 4 kaki (15 orang dengan saya dan isteri). Harusnya 5 kaki, tetapi adik saya mengundurkan diri karena tidak memiliki pembantu untuk menemani anak anaknya di rumah. Sayapun sudah putus asa bisa mencapai target.

Jam 11 malam (supaya murah), mentor yang sangat saya sayangi, pak Sujatniko atau pak Ojat menelpon :”Hallo pak Sigit, bagaimana goal LS nya ? sudah sejauh mana ?” Itu pertanyaannya setelah basa basi. Sayapun mengatakan bahwa tidak bisa mengejar target. Beliau menanyakan berapa yang bisa saya ajak?. Ketika saya laporkan hasilnya baru 15 orang dalam 4 kaki, tanggapannya benar benar di luar dugaan saya :”Wooow luar biasa dong pak, sudah dekat tuh, tinggal 10 lagi. Ini masih ada 7 hari. Kalau sehari dapat 2, lewat tuh”. Saya bengong mendengar ucapan mentor itu, waras apa waras ya dia ini ? pikir saya. Selama 4 bulan hanya dapat 13 orang, dalam 7 hari kedepan, katanya saya bisa dapat 10 ? Sangat tidak masuk akal, pola pikir linier saya mengatakannya begitu.

Dari pengalaman dan pola pikir eksponensialnya, pak Ojat mengatakan bahwa saya bisa mencapai target itu. Ketika saya tanyakan caranya, beliau meminta saya memutuskan dulu, apa memang mau mengejar goal itu atau tidak ?. Lama kami berdebat di telepon, pola pikir kuadran kiri saya menginginkan diberi tahu caranya dulu supaya bisa membuat keputusan, pola pikir kuadran kanan pak Ojat (yang sekarang menjadi pola pikir saya pula) mengatakan yang penting membuat keputusannya, cara tidak penting. Hanya karena penasaran ingin tahu caranya, akhirnya saya pun mengatakan :”Oke pak, saya memutuskan untuk mencapai challenge 25+ gold ribbon itu”. Sampai 3 kali beliau menanyakan apa benar itu keputusan saya ?, saya jawab IYA. Rupanya keputusan itulah yang ditunggu bawah sadar saya untuk menjadi Mekanisme Sukses Otomatis. Pak Ojat hanya memunculkannya. Karena tanpa keputusan tegas, meskipun kita diajari 1001 cara canggih, tidak akan berdampak apa apa.

Kemudian beliau meminta saya mengambil kertas, menggambar bulatan bulatan seperti gambar sebelah kanan diatas. Goal 9 kaki dalam bentuk 4 bulatan penuh dan 5 bulatan garis putus putus. Itu menggambarkan jumlah kaki yang harus saya ajak. Yang 4 kaki sudah beres, tinggal 5 kaki yang belum. Kemudian gambar itu diminta tempelkan di samping tempat tidur. Setelah menggambar itu, saya tanya :”Terus caranya bagaimana pak ?”. beliau menjawab santai :”Tempelkan possibility diagram itu dan lihat apa yang terjadi mulai besok !”. Wow, saya semangat karena ada harapan ikut campurnya yang di Atas. TERNYATA ITULAH CARANYA !!

Besok pagi, adik saya di Probolinggo nelpon, dia jadi ikut LS karena habis subuh tadi, mertua adik nomor 7 yaitu Agung mengantarkan pembantu, padahal adik saya itu tidak pernah meminta pembantu ke mertuanya Agung. Siang hari, begitu saja muncul ide nelpon adik nomor 6 di Jakarta. Saya promosi sebentar dan dia mau ikut, woow, sehari dapat 2. Agak sore, saja ingat adik nomor 7, langsung nelpon dan dia mau ikut meskipun saya tahu ekonominya masih parah (sekarang sudah paling joss sekeluarga, tahun 2017 ini kabarnya dia menyembelih lebih dari 100 sapi kurban). 

Besoknya hari Minggu, saya ke Malang dengan bu Wati. Tiba tiba saja terlintas pikiran presentasi ke salah satu teman dokter. Kami hubungi, kemudian datang ke rumahnya, presentasi dan dia mau gabung sekaligus ikut LS. Hari Senin, tiba tiba ada ide menelpon atasan saya. Tiba tiba saja saya berani menelpon, biasanya takut untuk nelpon. Baru bicara sedikit, beliau sudah tahu ini LS dan cerita bahwa beliau dulu sudah pernah beli tiket tetapi tidak bisa hadir. Akhirnya beliau minta disediakan 1 tiket. Sudah . . . done !! Saya sudah gold ribbon. 

Hanya dalam 3 hari, 9 kaki LS sudah tercapai, tinggal menambah jumlahnya saja. Itu tidak terlalu sulit, grup yang paling besar menambah orang yang ikut, adik saya juga nambah lagi. Jumat pagi ada profesor nelpon dari Jakarta karena pernah saya kirimi flyer LS. Beliau ikut LS dan sampai saat ini profesor tadi terus membeli produk sekitar 3 – 4 juta sebulan. Beliau mendapat produk berkualitas dengan harga grosir, saya mendapat bonus 21% dari omsetnya karena beliau frontline dan peringkat saya 21%. 

Begitulah, saya masuk LS dengan pelajaran yang sangat berharga soal goal, keputusan, possibility diagram dan sebagainya. Sejak itu setiap goal saya gambar. Jika jumlahnya besar saya gunakan count down seperti gambar kiri diatas. Sebuah balok yang berisi urutan angka dimana angka terendah ada di bagian bawah dan terus naik sampai target. Setiap pencapaian, maka angka paling atas disilang. Begitu terus yang nampak di mata kita adalah jumlah yang belum dicapai. Misalnya targetnya 100, maka dapat satu, angka 100 dicoret, dapat 2, angka 99 dicoret. 

Dari seminar seminar Network 21 saya belajar bahwa begitu kita menggambar bulatan itu dengan penuh pengharapan, maka bawah sadar kita malamnya akan bekerja keras menghubungi siapa saja yang kiranya bisa saya ajak. Ingat bahwa bawah sadar kita bekerja 24 jam. Esoknya kita bisa tahu siapa saja yang kira kira mau kita ajak. 

Tentu cara ini akan berhasil kalau kita benar benar serius menjalankan sesuatu. Bukan sekedar mencoba coba atau sengaja menantang hukum alam untuk membuktikan bahwa cara ini tidak berguna. Ingat bahwa “Aku sesuai persangkaan hambaKU”. Kalau Anda sendiri sudah memutuskan tidak akan berhasil, maka itulah yang akan terjadi.

Jika strukturnya penting, kita menggunakan possibility diagram. Atau digabung, possibility diagram dan count down, jika jumlah dan struktur nya penting. Ini bisa diterapkan di bisnis apa saja. Baik target penjualan maupun target produksi. Terbukti para alumni Network 21 bisa sukses di bisnis atau pekerjaan apapun. Bahkan protolannya banyak yang kemudian mendirikan MLM sendiri. Termasuk seorang ulama yang terkenal. 

Di Leadership Seminar Oktober di tahun yang sama, ada anggota grup yang ikut challenge. Saat itu challenge nya foto dengan Doug Wead. Di dunia pendidikan kepemimpinan seperti N21, berhasil mencapai challenge merupakan hal penting. Saat itu challenge foto dengan Doug Wead adalah menjoinkan 10 orang baru dan menjadi gold ribbon. Leader tadi yang suami isteri dokter, baru mendapat 2 anggota baru dan beberapa LS, padahal waktunya kurang 2 hari. Tadinya beliau merasa sudah tidak mungkin mencapai challenge, selama 4 bulan berusaha keras hanya dapat 2 frontline, masa iya dalam 2 hari dapat 8 ? 

Tetapi dengan pengalaman beberapa bulan sebelumnya, saya berhasil meyakinkan beliau bahwa bisa. Setiap kali bertanya caranya, saya selalu katakan “buat keputusannya dulu”. Akhirnya beliau memutuskan, kemudian saya ajari cara membuat possibility diagram. Esoknya, keajaiban keajaiban terjadi. Mereka berdua bekerja dengan kompak, meskipun saat itu sang suami mengajar di luar kota. Seperti ada ilham datang bertubi tubi. Datang kesana, presentasi langsung join dan ikut LS. Akhirnya 8 anggota baru yang sekaligus ikut LS tercapai. Ibu dokter yang sudah senior tadi menangis ketika ke esokan harinya saya telepon :”Iyaa pak Sigit, sudah selesai, ini sedang menulis aplikasi di ADC . . . kok bisaaa ya ?” Beliau tidak mengira bahwa akan berhasil, dan itulah momentum yang kemudian membuat bisnis beliau berkembang pesat.

Sejak saat itu, tidak ada satupun yang kami biarkan berpikir TIDAK BISA. Kami sudah mengalami sendiri bahwa apa yang menurut kami tidak mungkin, sebenarnya sangat mungkin, dan ternyata memang mungkin. Kita tinggal membuat keputusan, kemudian menggambarnya dalam bentuk possibility diagram dan count down seolah olah goalnya sudah tercapai. Kemudian kita mendorong pengharapan kita sampai ke titik kritis, terus berharap dan action, maka terjadilah keajaiban. Prof. Johannes Surya menyebutnya MESTAKUNG atau Semesta Mendukung.

Kejadian demi kejadian ajaib yang “tidak masuk akal” terjadi dan akhirnya kami bisa mendapakan hasil yang besar. Dalam sebuah RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) dengan anak dan isteri di meja makan pada bulan Mei 2005, saya minta ijin ke mereka untuk berhenti praktek. Dengan semangat ke tiga anak saya mengangkat tangannya menyatakan setuju. Saya yang selama ini sering mengecewakan mereka. Jika kami dalam perjalanan ke Probolinggo mengunjungi neneknya, tiba tiba di Nguling atau Pasuruan ada panggilan karena ada pasien masuk, atas nama tanggung jawab saya harus kembali ke Batu. Begitu juga seringkali acara yang sudah direncanakan sebelumnya gagal karena tanggung jawab saya terhadap pasien dan terutama nafkah keluarga. Bagi saya tidak ada masalah, tetapi ternyata bagi anak anak itu masalah besar. Itu nampak dari kecepatan mereka mengangkat tangan ketika saya tanyakan :”Bagaimana kalau bapak berhenti praktek ?”. 

Di Network 21 ini saya baru tahu bahwa cinta orang tua ke anak, oleh anak anak bukan dilafalkan LOVE, melainkan TIME. Anak anak membutuhkan kita (ayah dan ibunya) saat mereka pulang sekolah dari Senin sampai Jumat. Pulang dari sekolah dengan otak penuh masalah dan hati penuh kesedihan atau marah karena kejadian di sekolah. Mereka butuh teman untuk cerita, untuk berbagi masalah, untuk berlindung dan mengadukan masalah, tetapi sampai rumah yang ada cuma pembantu. Kitanya sibuk di kantor atau arisan. Di hari Sabtu dan Minggu, mereka tidak butuh kita, karena mereka sudah punya kegiatan dengan teman temannya. Kita memaksa mereka untuk menghabiskan waktu yang berkualitas dengan kita. Berkualitas bagi kita tetapi tidak bagi mereka. Di saat mereka butuh sendirian, kita merecoki mereka. Disaat mereka butuh kita, kitanya tidak ada. Kita sedang bersama boss, sekretaris atau kostumer, dengan alasan demi mereka. Menurut pak Rennier Latief, sebenarnya itu hanya demi kita sendiri, atau lebih tepatnya demi ego kita. 

Surabaya, 25 November 2017 
Sigit dan Wati